PEMILU PASCA REFORMSI

Di Indonesia, pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Sebagai wujud konkrit kedaulatan rakyat maka pelaksanaan pemilu terus diupayakan kesempurnaan dalam penyelenggaraan. Kesempurnaan dalam kaitan ini akan menentukan kualitas pemilu itu sendiri. Dan hal ini pada gilirannya akan memberikan citra yang lebih baik terhadap pelaksanaan demokrasi seperti yang dicita-citakan. Salah satu instrumen untuk meningkatkan kualitas pemilu adalah pelaksanaan asas luber dan jurdil yaitu kepanjangan akronim Langsung, Umum, Bebas, Rahasia dan Jujur,Adil.
Pemilihan umum sering dikatakan sebagai ujung tombak pelaksanaan sistem demokrasi. Hal ini lantaran dalam pemilihan umum setiap warga dapat mengapresiasikan hak suaranya untuk memilih wakil yang dipercayai mewakili lembaga legislatif. Pada masa reformasi, distribusi kekuatan antarpartai mengalami fluktuasi. Pemilu 1999 menghasilkan 6 partai yang memperoleh kursi DPR (dari 48 partai yang bertarung dalam pemilu) dengan komposisi kursi sebagai berikut: PDI-P (153), Partai Golkar (120), PPP (58), PKB (51), PAN (41), dan PBB (13). Pemilu 2004 yang diikuti partai yang lebih sedikit dibanding pemilu 1999 (hanya 24 partai) justru menghasilkan distribusi kekuatan antarpartai yang jauh lebih bervariasi. Berturut-turut jumlah kursi yang dimenangkan adalah Partai Golkar (133), PDI-P (108), PPP (57), Partai Demokrat (57), PKB (53), PAN (49), PKS (45), PBR (13), PBB (11), PDS (10), PKPI (3), Partai Merdeka (2), PKPB (2), PPDK (2), PPIB (1), PPDI (1). Dengan demikian, dari 24 partai yang mengikuti Pemilu 2004, terdapat 16 partai yang memperoleh kursi DPR; tetapi dari 16 partai yang memperoleh kursi DPR tersebut hanya sepuluh partai yang memperoleh sepuluh kursi atau lebih, dan hanya tujuh partai yang memperoleh kursi lebih dari lima persen. Meski perhitungan perolehan kursi DPR belum selesai dilakukan oleh KPU, tapi dari hasil perhitungan cepat (quick count) oleh beberapa lembaga survei menunjukkan hasil sementara (yang biasanya tidak akan jauh beda dengan hasil sesungguhnya) sepuluh besar partai di Indonesia kurang lebih sebagai berikut: Partai Demokrat (20,1%), Partai Golkar (14,2%), PDI-P (14%), PKS (8,2%), PAN (6,3%), PPP (5%), PKB (5%), Partai Hanura (4%), Gerindra (3%), PBR (1,3%). Hasil Pemilu 2004 dan 2009 menunjukkan meski perolehan suara sepuluh besar partai di Indonesia berubah-ubah (kecuali PKS dan PAN yang relatif stabil), tetapi dari puluhan partai yang ikut pemilu memang hanya sepuluh partai yang bisa memperoleh kursi atau suara lebih dari 1%.Jelas bahwa meski jumlah partai yang mampu memperoleh suara signifikan konsisten pada angka sekitar 10 partai, tetapi distribusi kekuatan antarpartai semakin merata. Hal ini tentu terkait dengan potensi integrasi sistem kepartaiannya.
Pelaksanaan Pemilihan Umum anggota legislatif tahun 2009 merupakan pemilu ketiga di era reformasi. Sejak reformasi, iklim politik semakin terbuka sehingga mendorong munculnya puluhan partai politik. Tercatat di tahun 1999 Pemilu Indonesia diikuti oleh 48 partai politik, Pemilu 2004 diikuti oleh 24 partai. Sedangkan di tahun 2009, Pemilu mencapai 38 partai politik. Dalam pelaksanaanya Pemilu 1999 dianggap cukup demokratis bagi banyak kalangan. Meski masih banyak juga masalah yang muncul dalam pelaksanaannya, seperti ketidaknetralan penyelenggara pemilu, ketidakkonsistenan aturan pemilu, konflik dalam penentuan calon-calon, pendanaan pemilu, hingga pengawasan pemilu.
Untuk Pemilu 2004 sebagai konsekuensi perubahan (amandemen) UUD 1945 ke empat kalinya, ada banyak hal baru yang diperkenalkan. Selain pemilihan anggota legislatif (DPR/DPRD), untuk pertama kali dalam sejarah Indonesia dikenal sistem pemilihan presiden langsung dan pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Sistem pemilu pada Pemilu 1999 dan Pemilu 2004 untuk pemilu legislatif DPR/DPRD menggunakan sistem daftar proporsional setengah terbuka di mana pemilih wajib mencoblos tanda gambar partai atau tanda gambar dan nama calon legislatif. Sedangkan untuk penentuan calon anggota DPD terpilih menggunakan Simple Majority dengan multi-member constituency (berwakil banyak).Sementara itu, KPU sebagai penyelenggara Pemilu 2004 tidak lagi diisi oleh anggota yang berasal dari wakil-wakil partai politik seperti pada Pemilu 1999 melainkan oleh individu nonpartisan yang dipilih oleh DPR.
Sedangkan untuk badan pengawas melalui undang-undang yang sama terdapat perubahan eksistensi di mana Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) saat ini lebih independen dan secara struktural Bawaslu memiliki posisi strategis dalam membentuk Panwaslu Provinsi dan Kabupaten/Kota. Tugas Bawaslu adalah mengawal setiap tahapan Pemilu 2009 dan berwenang untuk memberikan rekomendasi ke KPU untuk menonaktifkan sementara dan/atau mengenakan sanksi administratif atas pelanggaran serta memberikan rekomendasi kepada yang berwenang atas temuan dan laporan terhadap tindakan yang mengandung unsur tindak pidana pemilu. Namun sebenarnya kerja badan pengawas ini tetap dibatasi hanya pada pelaporan terhadap pelanggaran administratif dan rekomendasi terhadap pelanggaran pidana pemilu. Belum lagi saat ini banyak panwaslu yang belum terbentuk sehingga beberapa tahapan pemilu di daerah yang sudah dimulai tidak terawasi.Jumlah kontestan pemilu yang lebih banyak dibandingkan Tahun sebelumnya ataupun pengaturan tentang pidana pemilu yang semakin banyak dan beragam. Beberapa mekanisme disiapkan di dalam UU 10 tahun 2008 untuk menyelesaikan sengketa pemilu.

A. Analisis Permasalahan Seputar Pemilu Pasca Reformasi
Masa sekarang ini pun sistem politik Indonesia masih mengalami krisis yang memprihatinkan. Pasca reformasi yang harapannya akan ada format baru bagi dunia politik ternyata mengalami kebuntuan. Hal ini dapat dilihat dari partai politik yang menjadi bangunan dasar demokrasi, belum mampu untuk menjalankan fungsinya dengan baik. Perubahan yang terlihat hanyalah pada kuantitas partai, tapi masih menggunakan pola lama, artinya belum ada perubahan yang mendasar dari reformasi yang dicita-citakan.
Sistem politik ini merupakan bagian dari sebuah sistem yang besar, sehingga hal ini berimbas pada sektor yang lain. Sehingga dibutuhkan pendidikan politik agar partisispasi politik yang tercipta oleh masyarakat itu menjadi pilihan – pilihan rasional yang berkualitas
Legitimasi yang hadir saat ini adalah semu, karena tampil sebagai topeng, rezim yang hadir pun hanya menjadikannya tiket menuju kelas yang lebih tinggi, setelah sampai ditujukan dengan mudah untuk membuangnya ke dalam keranjang sampah. Kondisi yang seperti ini terjadi tidak lain akibat pengetahuan masyarakat yang masih kurang terhadap politik. Pemahaman atas politik masih jauh dari harapan para filosof, sementara ilmu politik begitu dinamis dan terus berkolaborasi dengan konteks budaya yang ada.
Keberagaman budaya yang ada pada bangsa kita sangat berpengaruh pada perangkat politik yang ada pula, perangkat politik yang sangat penting adalah partai politik yang melakukan adaptasi sebagai jawaban atas tantangan modernitas. Oleh karena itu dibutuhkan partai yang modern pula mengingat kebutuhan manusia yang semakin kompleks. Bukan hanya itu partai pulalah yang harus menggantikan tanggung jawab negara untuk memberikan pendidikan politik bagi masyarakat luas.
Sudah saatnya partai politik menebus budi atas suara yang telah diberikan padanya oleh rakyat, dan menjadi tanggung jawab bersama untuk menuju kemakmuran bersama. Kemudian tantangan yang kedua adalah, partai politik harus belajar untuk mandiri dalam banyak hal, mengingat kondisi bangsa yang carut-marut.Banyaknya bencana kemanusiaan yang melanda bangsa ini, seharusnya partai politik memperlihatkan eksistensinya pada rakyat, bukan hanya pada momen tertentu saja. Dari sini dapat dikatakan bahwa partai politik belum mampu menjalankan fungsinya di dalam masyarakat. Oleh karena dibutuhkan kedinamisan maupun keseimbangan komponen-komponen yang ada dalam sebuah sistem, maka komponen-komponen tersebut harus menjalankan fungsinya dengan baik. Sistem ini pun tidak terlepas dari pengaruh yang hadir dari luar.
Pendidikan politik yang adil serta memanusiakan manusia adalah cita-cita kemakmuran itu, dan sebagai sebuah sub-sistem dari sistem yang lebih besar, yaitu dunia politik yang humanis telah menjadi kebutuhan yang meniscayakan sebuah bangsa yang kuat.
Perlu diingat bahwa pendidikan politik itu bukan hanya pada masyarakat saja, tapi juga bagi elit politik sebagai pemegang peran penting dalam sebuah kebijakan. Hal ini menjadi sangat penting melihat realitas politik yang ada di Indonesia bahwa elit yang hadir bukanlah orang-orang yang begitu paham dengan politik. Sehingga kebijakan yang lahir pun tidak lagi menjadi alat untuk mensejahterakan rakyat, tapi sebagai alat untuk mendapatkan kekuasaan.
Kesimpulan
Di era pasca reformasi pemilihan umum di Indonesia diikuti oleh banyak partai didalam kompetisinya. Dalam hal ini rakyat sebebas-bebasnya memilih mana yang dipercaya sebagai wakil sehingga dapat disimpulkan dari kebebasan tersebut adalah cerminan suatu kemerdekaan. Namun, sayangnya dari kemerdekaan tersebut justru melahirkan problematika – problematika baru, misalnya saja sejumlah kecurangan – kecurangan pemilu. Hal ini seharusnya mendapat perhatian lebih untuk dicarikan solusinya. Misalnya pemerataan pendidikan politik, penanaman nilai – nilai moral, serta supremasi hukum.

Sumber:
http://anhaagnezious.blogspot.com/2011/05/pemilihan-umum-pasca-reformasi.html

Leave a comment